Bersama 15 institusi di 4 benua, Museum MACAN akan menayangkan film White Cube karya perupa Renzo Martens
11.05.2021
Tentang Program
Museum MACAN dan Makassar Biennale bekerja sama dalam menayangkan film dan berdiskusi tentang karya film dokumenter White Cube oleh seniman asal Belanda Renzo Martens.
Pada 11 Mei 2021, penayangan karya film secara virtual akan menampilkan karya dokumenter Renzo Martens yang berlatar Republik Demokratik Kongo, dilanjutkan dengan diskusi seputar seni dan kemampuannya menjembatani perbedaan budaya dan status sosial ekonomi.
Cuplikan
Tentang White Cube
Perupa Renzo Martens menyutradarai White Cube, sebuah film dokumenter panjang yang berlatar di Republik Demokratik Kongo. Film ini diluncurkan secara global di 15 institusi di 4 benua, termasuk Museum MACAN.
Dalam film White Cube, pekerja perkebunan di Kongo membuat terobosan baru. Mereka berhasil memaknai ulang konsep 'white cube' untuk membeli kembali tanah mereka dari perusahaan perkebunan internasional, dan melestarikannya untuk generasi mendatang. Dari kekerasan sistem perkebunan hingga estetika 'white cube', film ini memperlihatkan bukti bahwa museum dapat mendukung dekolonisasi dan menjadi inklusif, dan manfaat yang diperoleh di sekitar museum dapat diteruskan kembali kepada pekerja perkebunan yang menyumbangkan tenaga, juga terus membiayai, pembangunan institusi-institusi ini.
White Cube adalah kelanjutan dari film buatan Martens tahun 2008, Enjoy Poverty. Film ini mendokumentasikan kisah Cercle d'Art des Travailleurs de Plantation Congolaise (CATPC), sebuah koperasi pekerja perkebunan yang berbasis di bekas perkebunan Unilever di Lusanga, Republik Demokratik Kongo. Film ini mendokumentasikan keberhasilan CATPC dalam mengakhiri sistem monokultur yang merusak tanah mereka.
Setelah upaya perseorangan yang gagal oleh perupa Renzo Martens untuk menyelesaikan ketidaksetaraan melalui refleksi diri yang kritis, kelompok pekerja perkebunan ini menggunakan hak-hak yang terkait dengan 'white cube' untuk mendapatkan kembali tanah yang dicuri dari mereka. Dari fondasi sejarah dalam pekerjaan perkebunan kontrak dari raksasa dunia seni seperti Tate Modern, Van Abbemuseum dan Museum Ludwig hingga lingkungan yang telah mengalami gentrifikasi di sekitar museum ini, dari ruang rapat Unilever hingga perkebunan yang habis di Kongo, film ini menawarkan paradigma baru. White Cube tidak puas dengan mengkritik, namun mengusulkan perubahan paradigma: solusi praktis untuk ekonomi inklusif dan egaliter.
White Cube adalah sebuah film yang disutradarai oleh Renzo Martens dalam kolaborasi dengan CATPC.
Info Pemutaran Film & Diskusi
Pemutaran Film Virtual
Jadwal pemutaran film akan segera tiba. Ikuti kami di Instagram untuk menjadi yang pertama tahu tentang pengumumannya!
GRATIS (tempat terbatas, khusus audiens yang berdomisili di Indonesia). Dianjurkan untuk mendaftarkan diri secepatnya untuk mengamankan tempat Anda. Klik tombol di bawah untuk mendaftarkan diri di pemutaran film!
Diskusi Diskusi ini akan membahas peran seni dalam menjembatani pemahaman mengenai problem lokal yang dialami sebuah masyarakat (dalam konteks film ini adalah masyarakat di Lusanga, sebuah daerah di Republik Demokratik Kongo). Para pembicara, dengan moderasi dari Asri Winata (Asisten Kurator, Museum MACAN), akan membahas peran seni sebagai katalis, metode terapi, juga jalan menuju kebebasan.
Pembicara
1. Nurhady Sirimorok Nurhady Sirimorok adalah peneliti isu rural dan penulis yang tinggal di Makassar. Beberapa karyanya berupa esai berjudul Laskar Pemimpi: Andra Hirata, Pembacanya dan Modernisasi Indonesia (INSISTPress, 2008) dan Yang Tersisa dari Yang Tersisa (Buku Mojok, 2020). Ia adalah salah satu pendiri Ininnawa, sebuah komunitas yang menangani beberapa organisasi termasuk Biblioholic, Penerbit Innawa, Sekolah Rakyat Petani Payo-Payo, dan Active Society Institute (AcSI). Pada 1999 ia lulus dari Universitas Hassanudin, Makassar dengan jurusan Sastra Inggris, dan di 2007 dari Livelihood and Global Change, Institute of Social Studies, Den Haag, Belanda.
2. Halim HD Halim HD alias Halim Hardja atau Liem Goan Lay lahir di Serang, Banten, Jawa Barat pada 1952. Ia adalah penullis, juga kritikus literatur dan budaya. Ia lulus dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Sejak 1972 ia aktif berpartisipasi dalam pengorganisasian beberapa program budaya dan menulis esai. Halim pernah mengajar Bahasa Indonesia di The University of Michigan (1989 – 1992) dan menjadi asisten peneliti untuk Cornell University Modern Indonesia Project (1990 – 1992).
Institusi yang berpartisipasi:
KW, Berlin
Wiels, Brussels
Picha, LubumbashiI
CA, London
V-A-C, Moscow
MPavilion, Melbourne
Mori Art, Tokyo
African Artists’ Foundation, Lagos
SCCA, Tamale
Van Abbemuseum, Eindhoven
Museum MACAN, Jakarta
National Museum, Kinshasa
White Cube, Lusanga
Sharjah Art Foundation, Sharjah
The Africa Institute, Sharjah
Tentang Renzo Martens
Renzo Martens (1973) menempuh studi ilmu politik dan seni. Dia mendapatkan pengakuan internasional lewat film Episode I, dan Episode III: Enjoy Poverty, yang ditayangkan di lebih dari 23 negara. Pada tahun 2012, Martens mendirikan Human Activities dan program gentrifikasinya di Republik Demokratik Kongo.
Bersama dengan pekerja perkebunan Cercle d'Art des Travailleurs de Plantation Congolaise (CATPC), ia menggunakan kritik artistik untuk memperbaiki ketidaksetaraan ekonomi — tidak secara simbolis, tetapi secara material. Mereka membuka White Cube rancangan OMA di bekas perkebunan Unilever pada 2017. Karya anggota CATPC telah ditampilkan dalam pameran tunggal di ScultptureCenter New York, Mori Art di Tokyo, KW Berlin, dan di 21st Biennale of Sydney.
Daftarkan diri Anda untuk menerima newsletter Museum MACAN
Ikuti perkembangan terkini tentang Museum MACAN. Dapatkan newsletter bulanan untuk pameran dan program publik mendatang.